27 Desember 2013

Souvenir Jember

Foto : Doc Indra Production

     Souvenir Jember. Banyak orang tahu tentang oleh-oleh khas kota Jember yakni suar-suir, namun apakah banyak orang tahu tentang oleh-oleh kerajinan tangan yang diproduksi di kota kecil ini?. Jember memiliki desa yang memproduksi aneka cendra mata yang terletak disisi selatan kota, jarak yang harus ditempuh untuk sampai di Desa ini sekitar 28 kilo meter dari pusat kota. Berada didalam kecamatan Balung, desa ini memiliki nama desa Tutul atau biasa dikenal dengan nama Balung Tutul. Desa Tutul adalah desa sentra industri kerajinan tangan yang memproduksi bermacam-macam kerajinan, keuletan dan kerja keras menjadikan produk kerajinan tangan desa ini tembus ke pasar Internasional.

     Letak desa Tutul yang tidak begitu jauh dengan akses yang mundah dijangkau menjadikan kita tidak perlu bingung untuk sampai dan menyaksikan langsung pembuatannya sembari memilih-milih souvenir yang cocok untuk dibawa pulang ke kota asal sebagai oleh-oleh liburan. Cukup satu kali menggunakan angkutan umum dari terminal Jember ke Balung Tutul dengan menaiki angkutan jurusan Puger atau Kencong. Backpacker bisa turun di perempatan Patona kecamatan Balung desa Tutul sebagai tujuan pemberhentian. Setelah itu bisa jalan kaki tapi jasa transportasi seperti becak motor maupun becak konvensional juga menarik untuk Backpacker nikmati sembari melihat ibu-ibu meragkai tasbih di teras rumah dan butiran-butiran tasbih yang sedang di jemur untuk proses pengeringan.


Foto : Doc Indra Production
Berikut Produck yang dihasilkan oleh desa Tutul :
- Tasbih
- Sabuk
- Keris
- Tongkat
- Japamala
- Seni Ukir
- Bomerang
- Paper Bag
- Lampu Kamar
- Gelang, Cincin dan Kalung
- Alat Musik (Jimbe, Terbang, Maracas, Karimba, dll)
- Pralatan Dapur (centong, cobek, ulekan, dll)

     Bahan baku dalam pembuatan kerajinan ini beragam, ada yang bahan baku lokal dan ada pula yang didatangangkan dari negara timur tengah seperti Arab dan Mesir. Harga setiap produk beragam tergantung kesulitan serta bahan yang di gunakan. Soal kualitas jangan diragukan lagi produk hasil desa Tutul sudah menembus pasar Internasional jadi sudah terbukti kualitasnya. Namun ada baiknya ketika kita membeli barang diteliti lagi karena kelalaian atau miss yang mengakibatkan barang cacat produksi masuk di golongan good product.

Catatan :
  • Masyarakat Jember tergolong masyarakat yang ramah jadi jangan sungkan-sungkan atau canggung untuk bertanya jika menghadapi kebingunggan atau salah jalan. 
  • Harga sengaja tidak dicantumkan oleh penulis karena beragamnya harga
  • Desa Tutul bukan desa wisata yang dikelola dengan rapi, karena desa ini desa industri kreatif namun kita masih bisa melihat lihat dan langsung beli di galeri maupun ditempat peroduksi.
  • Info lebih lengkap kunjungi Jember Backpacker di Facebook Ini.

Backpacker ke Papuma

Foto : vj lie
     PAPUMA. Mungkin untuk orang Jember terasa tidak asing lagi mendengar kata Papuma, tapi bagi orang diluar kota Jember akan bertannya Papuma itu apa?. Papuma kepanjangan dari pasir putih malikan, Papuma ini masuk dalam destinasi wisata kota Jember. Pantai yang terletak disisi selatan kota Jember ini mempunyai daya tarik yang cukup tinggi. Letaknya tidak terlalu jauh dari pusat keramaian kota, untuk menuju kesana kita harus menempuh jarak 38 kilo meter dengan pemandangan hamparan sawah dan tentunya juga pemukiman penduduk.

     Wisata Papuma memiliki pantai berkarang besar dengan pasir putih yang halus, disini kita bisa melihat sunrise atau matahari terbit ketika pagi dan sunset atau matahari terbenam di sore hari. Papuma bisa dibilang surga fotografi, namun untuk hari-hari besar atau libur panjang sampah di kawasan Papuma mengalami peningkatan seiring banyaknya pengunjung. Selayaknya masalah-masalah wisata ditempat lain sampah di Papuma juga menjadi problem klasik sampai sekarang (2013). Perlunya kesadaran dari pengunjung untuk membuang sampahnya sendiri (minimal) pada tempat yang sudah disediakan kurang tinggi, begitu juga dengan pengelola yang masih kurang memfasilitasi bak-bak sampah.

Fasilitas yang ditawarkan Papuma  antara lain :
- Penginapan
- Outbound
- Warung Makanan
- Kios Souvenir
- Shelter
- Musholla
- Jalan Lintas dan Pendakian
- Tempat Istirahat/Balairung
- Bumi Perkemahan
- Gazebo
- Playground
- Areal Parkir
- MCK

      Transportasi menuju ke Papuma dibilang cukup sulit untuk kita yang bepergian mengandalkan angkutan umum, sebab angkutan umum di Jember tidak ada yang langsung menuju kawasan pantai. Backpacker dari luar kota Jember hanya bisa menggunakan angkutan umum sampai di kecamatan Jenggawah yang terletak 20 kilo meter sebelum pantai untuk saat ini (2013). 

     Backpacker bisa menggunakan jasa angkot warna kuning dari stasiun dan terminal Jember menuju terminal Ajung, yang kemudian dilanjut dengan menggunakan angkutan pedesaan hingga kecamatan Jenggawah. Sesampai di Jenggawah Backpacker bisa menumpang kendaraan masyarakat Jember untuk menuju Papuma, bagi Backpacker dengan jumlah banyak maka bisa memanfaatkan carter mobil angkot dengan biaya yang dirundingkan sebelumnya dengan supir angkot.

     Lain cerita jika Backpacker menggunakan motor atau mobil pribadi, menuju kawasan Papuma tergolong mudah. Backpacker yang sudah masuk daam kawasan kota Jember tinggal menuju kearah kecamatan Ambulu, lalu diteruskan menuju pantai Papuma. 

Catatan :
  • Masyarakat Jember tergolong masyarakat yang ramah jadi jangan sungkan-sungkan atau canggung untuk bertanya jika menghadapi kebingunggan atau salah jalan.
  • Tiket masuk Papuma mengalami naik turun sehingga penulis tidak mencantumkan harga tiket pada artikel ini. 
  • Transportasi yang penulis gambarkan adalah keadaan ketika artikel ini dibuat yakni 28 Desember 2013.
  • Fasilitas yang ada di Papuma mungkin juga akan mengalami perubahan seiring laju perkembangan wisata yang ada di jember.
  • Pantai Papuma adalah pantai selatan yang mempunya karakter ombak besar, jadi diharapkan pengunjung mengerti dengan keadaan tersebut.







8 Desember 2013

Gunung Bukan Tempat Sampah !!!



Gunung Bukan Tempat Sampah
    Mendaki sebuah gunung saat ini sudah sebagai life style tersendiri, ketika kota di banjiri oleh kesibukan jam kerja, demo dan lain sebagainya. Mendaki menjadi sebuah daya tarik tersendiri untuk melepas penat dalam kehidupan sehari-hari, informasi yang mudah didapat dan ada beberapa agen travel menyedikan perjalanan mendaki gunung itu mempermudah seseorang untuk menikmati rimba.
     Beberapa waktu lalu tayangnya film 5 cm bisa dibilang menjadi titik awal menjamurnya pendakian di gunung-gunung Indonesia, salah satunya di gunung Semeru. Dalam film yang di perankan oleh Herjunot Ali dan kawan-kawan ini memberi gambaran betapa indah dan lestarinya gunung yang berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) itu.

    Efeknya bermunculan pendaki-pendaki baru, mereka yang kurang tahu tentang sikap pendaki yang membawa turun sampahnya, menjadi sebuah hal yang sampai kini (Desember 2013) menjadi masalah tersendiri. Penumpukan titik-titik sampah dan dijalur pendakian mulai terlihat, sampah plastik bungkus permen, jamu masuk angin, sampau bungkus madu.

     Polemik lain juga muncul di gunung tempat bersemayam para Dewa ini. Tumbuhnya pendaki-pendaki baru yang begitu banyak dan minim pengalamn memunculkan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar yang hidup di daerah sekitar pos pendakian. Penduduk dilibatkan sebagai penyedia jasa porter dengan upah 150-200 ribu membuat penyedia jasa tumbuh subur. Namun bukan itu masalahnya, masalahnya dalah porter-porter ini enggan membawa turun sampah-sampah milik pengguna jasa.

     Porter cenderung membakar sampah di samping selter atau tempat para pendaki membuka tendanya, dalam hal ini Ranu Kumbolo dengan alasan yang bervariatif. Tempat pembakaran/pembuangan sampah yang berada dikemiringan lebih tinggi dari sumber air menjadi masalah, sebabab ketika musim penghujan air akan membawa zat-zat yang terkandung dalam sampah mengalir masuk dalam Ranu Kumbolo.

     Ranu Kumbolah adalah tempat bermalam pertama bagi para pendaki, menggembalikan tenaga dan melihat sunrise sebelum melanjutkan pendakian ke Kalimati. Air disini digunakan sebagai air minum dan memasak bagi para pendaki, bukan tidak mungkin jika musim penghujan datang dan air sudah terkontaminasi dengan zat-zat bisa menjadi sumber penyakit walau sudah di panaskan terlebih dahulu. Apa Kita, Kalian, atau Kamu ingin membuat Kumbolo menjadi sarang penyakit akibat sampah? Saya harap tidak. 

Jember Backpacker
       Memberi pengetahuan dan pengawasan terhadap porter tentang pelestarian perlu dilakukan oleh TNBTS.  Beberapa komunitas pendaki juga menyuarakan "GUNUNG BUKAN TEMPAT SAMPAH", salah satunya Trasbag Cominity. Melalui ini mereka membersihkan sampah-sampah saudara kita yang masih belum tahu tentang sebuah pelestarian alam. Mereka juga menyuarakan ini melalui media sosial dengan tujuan yang mulia, tujuan melestarikan Alam dan Rimba kita tidak kotor akibat sampah.

      Melalui tulisan ini kami Jember Backpacker ingin mengajak teman-teman backpacker yang lain menyuarakan hal yang sama yakni "GUNUNG BUKAN TEMPAT SAMPAH". Karena pecinta alam bukan dilihat dari kita ikut dalam organisasi pecinta alam atau tidak, pecinta alam adalah mereka yang peduli dan cinta dengan pelestarian alam melalui dirinya sendiri dan tidak memandang komunitas. Bendera kita boleh beda namun melestarikan alam adalah tanggung jawab bersama.

#Salam Lestari
#Salam Ransel
#Salam hangat dari kami Jember Backpacker

Apa Yang Kau Cari, Hay Pendaki ?

Foto : Vj Lie

Lewat obrolan virtual itu  kau bertanya tentang petualangan-petualanganku. Tentang seberapa banyak puncak tinggi yang pernah kugagahi. Juga tentang seberapa luas rimba raya yang telah kucumbui. Selebihnya kau hanya bercerita tentang petualanganmu saja, tanpa titik koma. Padahal jika bisa kau  tatap mataku saat itu, tentu kau akan tahu jika sebenarnya aku enggan mendengar ceritamu.

Beberapa belas tahun yang lalu aku juga sama sepertimu kawan. Ketika secarik kain berwarna ungu itu baru saja melingkar di leherku. Saat benak ini hanya dipenuhi oleh satu obsesi. Mendaki, mendaki dan mendaki, itu saja. Namun, di tengah perjalanan akhirnya aku baru sadar akan sesuatu. Tak harus menjadi seorang pencinta alam, jika kau hanya ingin berpetualang! Sebab, mendaki sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukan hanya aku atau kamu, tapi juga mereka.

Kurasa mendaki itu cuma butuh tiga hal saja kawan. Duit yang cukup di tangan. Sedikit ketrampilan serta kekuatan. Dan, yang terpenting adalah belas kasihan. Yah, belas kasihan, itu yang paling dibutuhkan oleh seorang petualang. Bukankah karena sebuah belas kasihan Tuhan,  puncak tinggi itu bisa kita gapai dengan tangan? Bukankah karena setitik sifat Rahman-NYA pula kita bisa selamat  pulang, dan kembali berkumpul dengan keluarga?.

Kawan, mendaki itu bukan sebatas menumpuk dokumentasi di situs jejaring pribadi. Bukan pula ajang pembuktian sebagai seorang pencinta alam yang jantan. Jika itu saja yang ada dalam pikiranmu, kurasa kau masih belum memahami esensi dari mendaki. Dari setiap cucuran keringat, disitu ada mutiara hikmat. Dalam setiap perjalanan, disitu pula ada makna pelajaran tentang kehidupan.

Saat kau dirundung gila tenar dan sanjung. Cobalah untuk berdiri di puncak tinggi itu. Lihat kawan, adakah sorak sorai tepuk tangan penonton yang mengitarimu. Adakah spanduk "selamat datang" yang menyambutmu? Mungkinkah pula ada sebuah tropi yang bisa kau angkat tinggi-tinggi sebagai tanda kemenanganmu?

Saat kau di puncak tinggi itu, mungkin saja kau merasa lebih tinggi dari segalanya. Coba tengok di sekelilingmu. Kanan, kiri dan juga  yang ada di atasmu. Lihat, bandingkan dirimu dengan bentang alam yang menghampar di sana. Bayangkan dirimu ada diantaranya, itulah sebenarnya dirimu. Kau tak lebih hanyalah sebuah noktah yang mungkin tak nampak jika ditatap dari kejauhan. Masihkah kau merasa lebih tinggi? Jadi, kenapa kita merasa seakan mampu memegang matahari? Bukankah masih ada langit di atas langit masih ada langi kawan? Tak mungkin  kita mampu menggapai matahari itu. Bahkan untuk menatapnya saja, kau tak akan kuasa oleh silaunya.

Berada di puncak yang paling tinggi, bukan berarti kita telah menjadi pemenang sejati.  Jangan lupa kawan, semakin tinggi tempat kita berdiri, semakin kencang pula angin yang menerpa di kanan kiri. Posisi tinggi dalam kehidupan bukanlah jaminan tidur kita akan menjadi aman sekaligus nyaman. Sebab, bisa jadi ada angin dari luar sana yang akan menerpamu secara bertubi-tubi. Sekencang-kencangnya, tanpa kau sadari dari arah mana datangnya. Bahkan acapkali angin itu mencoba menjatuhkanmu hingga posisi serendah-rendahnya. Tapi, santai saja kawan. Bukan itu yang perlu kamu takuti. Jadikan saja ikhlas dan sabar sebagai tameng  untuk menahan terpaan angin di luaran sana.

Kuhanya takut  hembusan angin kecil dalam diri yang justru akan menggoyahkan kaki penopang kita berdiri. Tiupan angin dalam hati bernama sombong, riya' dan dengki, itulah yang harus kita waspadai. Jangan biarkan tiupan itu semakin berhembus, menerobos dinding hati ini. Sebab, jika itu menjadi kebiasaan, bisa jadi akan menjadi sindrom saat usia senja nanti. Saat rambutmu telah dipenuhi uban, kau masih saja sibuk berebut pujian. Saat keriput mulai membalut kulitmu, kau pun masih saja bernafsu memburu jempol-jempol itu.

Kawan, bukan berarti aku antipati pada kata-kata mendaki. sebab, hingga hari ini petualangan itu masih kusenangi. Mungkin saja aku sedang jemu untuk melakukannya. Seperti halnya kejemuanku pada dunia abstrak yang sedang kulakoni lewat layar mini ini. Mungkin ada baiknya kita berbincang tentang hal yang lain saja. Sesuatu yang lebih pencinta alam tentunya. Tentang perikulum in mora Atau tentang alam raya yang butuh sentuhan sayang dari tangan kita. Kenapa kita enggan perbincangkan  jernih sungai yang sekarang berubah bak comberan? Kenapa kita tak berdiskusi lagi tentang burung-burung yang enggan bernyanyi kala pagi hari?

Mungkin lain waktu kubiarkan ransel gunung itu kembali memijat lembut punggungku. Mungkin lain hari aku akan kembali mendaki sepertimu. Tapi, tentu saja bukan bermaksud untuk menjadi yang lebih tinggi, atau mungkin meninggi. Sebab, mendaki itu kulakoni 'tuk sekedar mengasorkan diri.

Salam Lestari !

Copas Artikel Mas lozz

8 November 2013

Foto Jember Backpacker

          Foto sebuah kebiasaan yang sulit di tinggalkan oleh setiap pecinta jalan-jalan, dan ini adalah foto anggota untuk sebuah kenangan pada tempat yang sudah di pijaki.

Ain di Papandayan


Syifa di Curah Macan

Vj Lie di Teluk Ijo

Angga di paltuding-ijen

Qory di Nanggelan

Desa Curah Macan

Kami dengan Warga
        Siapa yang tidak merasa bangga jika nama tempat asalnya adalah nama yang membanggakan. Macan adalah hewan yang dilindungi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Dunia, Macan atau Harimau ini memiliki simbol kekuatan dalam trah suku jawa. Desa ini memiliki nama Curah Macan yang memiliki arti tempat dimana Macan/Harimau itu turun dari rimba.

        Warga desa Curah Macan begitu ramah dengan segala keterbatasan, tidak ada listrik sepanjang hari, tidak ada signal hanphone, dan tidak ada surat tanah hak milik pada setiap bangunan yang mereka diami. Namun dengan segala keterbatasan itu, warga desa masih bisa tersenyum dan menyambut kami dengan ramah dan terbuka. Menganggap kami adalah saudara jauh yang sedang kembali kerumah asal untuk bertemu dan bercengkramah.

        Mayoritas penduduk disini adalah petani dan pekerja dikebun kopi milik Perkebunan Nusantara (PTPN). Aktifitas warga dimulai setelah sholat subuh, ketika kentong dibunyikan oleh mandor yang menjadi penanda warga harus siap-siap untuk pergi kekebun kopi milik negara. Seduhan kopi hitam saat mau berangkat sudah menjadi tradisi disini, pria dan wanita berjalan menuju kebun ketika kopi sudah diminum.

        Para pekerja kebun tidak hanya dari desa Curah Macan saja, namun juga ada yang berasal dari desa Curah Capil dan desa-desa lain disekitarnya. Kami yang ketika pagi mengamati keseharian para penduduk desa merasa nyaman oleh suasana pagi disini, dengan udara sejuk pegunungan dan melihat barisan para pekerja berjalan beriringan dengan saling ngobrol dan tegur sapa. Tradisi yang mulai luntur saat kami berada dikota besar.

        Tidak jauh dari desa curah macan, suguhan padang sabana dengan bukit-bukit amat bagus untuk menjadi tempat camp bersama. Menikamti malam dengan sinar rembulan dan taburan bintang, sepertinya menarik untuk direalisasi dikala libur. Namun tersiar kabar akan ada industri tambang berupa panas bumi di kawasan ini, pengeboran berada tidak jauh dari desa yang berpenduduk sekitar 300KK. Semoga pemerintah lebih mementingkan warga ketimbang exploitasi dengan alasan kesejahtraan tapi hanya menguntungkan investor saja.

Kab. Bondowoso
Kec.Sempol
Desa. Curah Macan
padang sabana



Ranu Kumbolo


Tumpengan
Gunakan Gigi Satu
Nampang nang Kumbolo


Seng penting ASIK

Ngangkring

Masak lek

Gaya ey

Kembali ke pane

to potoan nang pos

Nang Tanjakan Cinta

Pas neng nanggelan

ya gayaan sebelum nyasar

pisssss

persiapan to fotoan

jebret

jebret

Di Pantai Nanggelan